Menuju Mati Rasa (?)
Akhirnya nemu juga keinginan buat update blog, padahal seharusnya bisa tiap hari sih nulis ginian, mengingat bahan cerita bener-bener membludak di kepala. Kebiasaan diri aja ini, apa yang bisa disampaikan malah nggak disampaikan, padahal ngeluarin sampah hati itu penting. Setidaknya buatku.
Okelah, aku mau bahas sesuatu yang lagi mengusikku di malam ini, di jam ini, dan di detik ini. Yaitu soal pacar. Iya, pacar. Kenapa aku pengen bahas dia? Ya karena pengen lah, apalagi? Salah sendiri dia ngobel-ngobel isi kepalaku. Kalau nggak ya mana mungkin aku begini kan. Tapi aku ingin mengingatkan sebelumnya, kalau tulisan ini murni subjektif pemikiranku saja, bisa jadi salah dan bisa jadi juga kebenaran, namanya juga cerita pasti bakal macem-macem kan perspektifnya.
Jadi udah semingguan kami nggak berkabar satu sama lain. Yaelah alay bet sih, seminggu doang! Heh jangan bawel, nggak usah koar-koar, blog-blog ku kok anda yang sewot. Lagian ngapain juga buang-buang waktu baca blog nggak jelas gini. Seminggu itu waktu yang cukup buat matiin rasa! Ya, waktu sebegitu singkatnya sangat cukup membuat kita anti pati sama manusia lain.
Aku nggak tahu sebenernya ini errornya di mana, aku atau dianya yang bermasalah? Masalahnya kalau dalam perspektifku, aku ngerasa kaya dia memang nggak ada niatan sama sekali untuk berusaha. Tapi kayanya aku terlalu kejam kalau bilang dia nggak berusaha, mungkin lebih enaknya pake persentase gini, aku kasih dia 75% tapi dia cuma 25%.
Jangan salah, 75% itu taruhan yang bukan main gedenya loh. Aku nggak tau kenapa alasan persentase dia sekecil itu ke aku, mungkin memang waktuku aja yang udah harus kadaluarsa aja kali ya? Nggak tau juga.
Kami pacaran baru hampir 8 bulanan, dan selama itu kami sangat sedikit sekali membuat memori. Ketemu pun sangat jarang, telepon pun juga. Imessage satu-satunya platform kami buat tau kabar satu sama lain. Aku mengerti dia punya kesibukan dan juga kondisi yang nggak memungkinkan buat kita bisa keluar kapan aja, dan aku nggak mau terlalu memaksakannya. Ya walaupun kadang-kadang kesel juga sih. Mungkin itu juga jadi faktor kerenggangan kami, sedih juga ya kalau dipikir-pikir.
Kami memang sering nggak berkabar gini, tapi ini yang paling lama. Penyebabnya karena waktu itu dia bilang ke aku kalau mau ngajak pergi nonton. Otomatis aku jawab dengan suka cita dong, karena kami juga udah hampir sebulanan nggak ketemu. Tapi respon-respon dia berikutnya menjengkelkan sekali, ntah ini aku yang kelewat sensian atau gimana, cuman aku ngerasa ajakannya dia barusan kaya orang nggak niat. Begitu aku tanya ini niat ngajakin apa nggak, eh jawabannya "entah dah wkwk."
Yaudah sih, kalau memang nggak niat ngapain juga dong ngajakin. Mungkin yang baca ini berpikir, kenapa nggak aku aja yang ngajakin keluar, kok kesannya aku "perempuan" banget, atau apalah. Gini ya, aku udah sampe bosen ngajakin dia keluar, tapi ya dianya emang nggak bisa. Jadi kan males juga kalau udah keseringan ditolak, mending nunggu dia aja yang ngajakin.
Kadang aku ngerasa punya pacar dan tidak di waktu yang bersamaan. Kebanyakan waktu sulitku dia nggak ada, dan ketika waktu sulitnya dia tiba ternyata bukan aku pilihan tempat istirahatnya. Sekali lagi aku nggak masalah perkara keputusan yang dia ambil, entah itu dia nggak mau ngangkat teleponku karena males ngomong, lama bales chatku karena asik nonton drakor, nggak curhat di aku soal kakinya kesandung meja, aku yang nggak ada di prioritasnya, atau apalah itu yang sejenisnya aku bener-bener nggak ada masalah.
Itu hidup dia dan keputusan dia. Aku udah nggak mau ambil pusing lagi, toh dia nggak guna di kehidupanku, dan aku juga nggak ada letak fungsinya di kehidupannya. Tapi sebelumnya ada satu kepercayaan soal cinta yang baru-baru ini aku yakini: Mencintai adalah menjadi goblok. Kalau pasangan kalian nggak ada yang rela jadi tolol buat kalian, berarti dia memang nggak bener-bener untuk kalian..
Udahan aja? Hmm, ntah deh. Liat aja ke depannya gimana, masih sayang sih ini. Tungguin aja kabarnya hehe.
Komentar
Posting Komentar