Aku di 2018; Ugliest Year
Bagiku di tahun sebelumnya adalah tahun terlucu. Ketika semua perubahan terjadi secara masif dengan sekedipan mata, tanpa sempat bibir ini berkata apa-apa. Bagian terlucunya ialah aku harus merelakan semua yang aku idam-idamkan pada saat itu dan harus kembali berkutat pada sesuatu yang aku benci dengan sangat sedari dulu, secara terpaksa. Itu semua hanya sementara pikirku.
Di tahun yang paling jelek ini hampir sama dengan tahun sebelumnya. Kehidupan masih saja berbuat seenaknya. Bedanya sangat banyak dari tahun sebelumnya, pengaruhnya pun cukup signifikan, jadi rasanya nggak perlu dijelaskan panjang lebar, karena ini sangat menyebalkan.
Pada bulan Mei tanggal 20, orang tuaku memutuskan untuk berpisah. Harusnya mereka bisa melakukannya dengan cara yang lebih dewasa, mengingat umur mereka yang sudah menginjak kepala 5. Tapi apadaya, semua sudah terlanjur begini.
Kemudian di tanggal yang sama aku kenal sama Nabila, yang sekarang jadi pacarku. Menurutku ini kejadian yang cukup aneh, karena dia datang di saat segalanya pas. Aku heran, kenapa orang kaya aku begini ternyata masih bisa punya seorang kekasih hahaha.
Di bulan-bulan selanjutnya diisi dengan perjuanganku yang harus memenuhi kebutuhanku sendiri, dari bayar uang kuliah, tagihan-tagihan, modal kencan, belanjaan bulanan, pokoknya semua. Bisnis keluarga, yaitu sebuah rumah makan, sekarang sepenuhnya jadi tanggung jawabku semenjak mamaku tidak lagi tinggal di rumah. Ya, sekarang aku tinggal bersama papa.
Hari demi hari, tiap aku bangun, tiap kali aku melakukan sesuatu, segalanya begitu datar. Nggak ada sensasi kesenangan apapun kecuali marah. Bukan marah yang menjadi-jadi gitu, bukan. Tapi marah dalam hati. Siapa yang aku marahi pun aku juga nggak tahu, yang jelas aku jadi mudah terpancing bahkan pada urusan yang sepele pun.
Ingin memutuskan apapun juga tiba-tiba jadi makin susah. Seakan-akan otak nggak tahu apa yang dia mau, kadang-kadang juga suka implusif. Di sisi lain, kepalaku sering disambangi migraine. Aku nggak tahu ini efek dari apa, tapi ya ini yang aku rasakan sekarang.
Beberapa teman dan orang terdekat bilang, “Mungkin kamu kurang bersyukur sama yang aku punya,” ada lagi versi lainnya, “Banyak loh yang di luar sana yang pengen di posisi mu.” Well, sebenernya apa yang mereka katakan nggak salah, namun nggak benar juga. Ibaratnya, bagaimana cara aku melihat putih kalau yang di depan mataku hanya ada ruang kosong dan hitam? Setidaknya beritahu aku bagaimana caranya.
Di waktu yang sama, aku juga sering digandrungi rasa kecemasan berlebih. Berspekulasi pada hal-hal yang mungkin saja nggak akan pernah terjadi. Tak luput juga pikiran kotor untuk melakukan sesuatu yang buruk terngiang sewaktu-waktu. Pikiranku bisa seenaknya terjun bebas. Aku jadi takut ketika sendirian.
Kalau aja hidup bisa milih kaya ice cream.
Aku resmi menobatkan tahun ini menjadi tahun terjelek. Kenapa aku bilang gitu? Ingin aja.
Komentar
Posting Komentar