Shit Cleaner
Aku adalah manusia
normal. Selayaknya manusia normal, aku hanya meminta apa yang sudah seharusnya
dimiliki oleh kebanyakan manusia normal dalam kehidupanku. Penat menghadapi
segala kebusukan-kebusukan yang mulai mengentarakan diri dengan gagahnya ke permukaan.
Semua itu tak lain dan tak bukan menjadi skenario terburuk dalam sepanjang
hidupku.
Aku merasa selama
ini aku hidup hanya menjadi seorang pembersih kotoran. Menjemukan sekali
bagaimana rasanya harus menyelesaikan dan selalu berkutat pada masalah-masalah
yang bukan aku sendiri yang menanamnya. Dan buruknya lagi, akulah yang
kecipratan untuk menanggung segalanya.
Beban yang aku
terima dari membersihkan kotoran-kotoran orang tak sepadan dibandingkan
kemampuanku untuk mengikhlaskan melepas kumpulan angan-angan kecil yang tumpah
ruah menjerit minta diselamatkan. Seandainya bibirku pandai berucap seribu
bahasa, ingin juga aku berkata kepada angan-angan kecil itu bahwa aku ingin
diselamatkan juga. Tidak ada yang lebih buruk dari pada setengah hidup.
Tak jarang aku
menumpulkan egoismeku demi kepentingan bersama. Menyadarkan otak dari lamunan
panjang bahwa mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk memiliki sayap seperti
burung. Mungkin saja tujuan hidupku ternyata adalah sebagai budak kelancaran
tatanan hidup orang-orang di sekitarku, termasuk keluargaku sendiri.
Permasalahan yang
sering kali timbul pada tiap manusia yang mencoba pasrah terhadap hidupnya: Pasti
ada saat di mana satu titik di dalam diri mereka yang mendobrak, mengaung,
serta meronta-ronta tersiksa melihat mereka diperlakukan seperti itu. Mereka
menolak, itu jelas.
Tidak banyak yang
bisa manusia lakukan ketika dihadapkan pada posisi tanpa pilihan. Perasaan
merenung sedalam mungkin untuk menemukan kilatan cahaya di jurang terdalam,
sedangkan logika mencoba mengais-ngais memori yang berserakan, lalu menempelkannya
ke dalam buku kenangan berdebu jika suatu saat ia tidak bisa melihatnya lagi.
Sebanyak itu yang bisa kulakukan untuk saat ini.
Aku adalah manusia
normal. Selayaknya manusia normal, aku juga memiliki banyak kekurangan. Tapi
dari sekian banyak kekuranganku, hanya kali ini saja aku mengutuk habis-habisan
ketidakberdayaanku menyampaikan sampah-sampah yang sudah mengendap di balik
dahi. Kalaupun terpaksa, bibirku akan mengeluarkan benang abu-abu yang hanya
bisa dimengerti oleh diriku seorang.
Melelahkan. Tidak
ada kata yang lebih tepat dari pada itu.
Komentar
Posting Komentar