Hera





Untuk ukuran seorang manusia, aku selalu percaya, bahwa pada dasarnya manusia diciptakan dengan sayap yang membentang lebar yang melekat erat di tulang punggungnya. Hanya saja Adam memilih kaki untuk menikmati kasarnya tanah Bumi yang ia injak. Tahu-tahu kita yang sebagai ampas-ampasnya tidak bisa berbuat apa-apa akan keputusan itu.


Tapi hal ini juga bisa kita jadikan sebagai gambaran tentang kepercayaan. Kita lahir ke Dunia Sampah ini dibantu oleh kedua orang tua kita. Kita tidak bisa memilih bagaimana kita akan lahir, keluarga macam apa yang akan membimbing kita, kaya atau miskin, baik atau kasar, beragama atau tidak sama sekali. Yang kita tahu hanya penyesalan, bahwa memilih tidak berlaku bagi dunia ini.

Semakin kita bertumbuh serta berkembang, seberapa banyak doktrin tentang kehidupan yang telah kau cerna? Apakah ada dari semua itu yang membuatmu takut untuk melangkah?

Lupakan kiasan klise itu.

Kita selalu diajarkan semenjak dini bahwa teori C adalah yang paling benar. Jika kau melanggarnya, petaka menantimu. Kakimu yang berideologi kebebasan tidak bisa menerimanya. Ia ingin mencoba segala teori-teori yang ada. Tapi selalu ada hambatan yang menghalanginya, ialah rasa takut. Kita diajarkan tentang kebenaran, bukan mencoba dan menilai sendiri. Sekalipun kita bisa menilai sendiri, kita sudah terlambat. Usia bermain banyak di sini tampaknya.

“Seperti apa dunia mu?” 

Seorang wanita tiba-tiba memecahkan keheningan di udara. Suaranya menembus alunan musik yang aku salurkan melalui earphone ku. Tidak bisakah orang-orang membiarkan aku tenang walau hanya untuk sesaat?

“Abstrak. Kamu nggak bakal mengerti. Lagian ini bukan sesuatu yang pantas untuk aku ceritakan.”

“Wah apakah ini bentuk sarkastik darimu? Gini-gini aku juga lumayan suka berfilsafat lho.”

Apa-apaan wanita ini?

“Aku tidak tahu apa yang kamu katakan. Tapi kalau dipikir-pikir aku tidak bertanya soal kamu suka berfilsafat atau tidak. Aku tidak peduli.” Jawabku dengan nada ketus. Berharap wanita ini segera melenyapkan eksistensinya sekarang juga.

Ia tidak merespon jawabanku. Apa perkataanku terlalu kasar untuk seseorang yang aku tidak kenal? Tapi dilihat dari mimik wajahnya, ia tidak ada rasa kesal sedikitpun. 

Masih juga tanpa jawaban, wanita itu malah memandangi wajahku dalam-dalam. Matanya begitu bulat namun tajam. Itu sungguh membuatku muak. 

“Bisakah kau pergi sekarang? Kedamaianku adalah absolut. Jangan rusak surga kecilku ini.” Imbuhku ringan. Masih dengan harapan yang sama.

“Hera. Namaku Hera. Aku sama sepertimu yang muak dengan aturan dunia. Bisakah aku bergabung di Surga kecilmu itu? Aku tidak punya tempat di sini. Sekolah ini, rumahku, di manapun, aku tidak diterima. Tapi ketika melihatmu yang terduduk manis sendiri di bawah rindangnya pohon Beringin ini, aku tahu kita bisa membuat dunia sendiri.” 

Wanita itu mengucapkan kata-katanya begitu lurus tanpa terbata. Semua ucapannya menggunakan intonasi yang proporsional. Yang artinya, aku tolak pun dia akan selalu kembali. Seperti bumerang.

“Aku suka kata-katamu. Tetapi yang harus kamu tahu, aku tidak menerima makhluk berisik di dalam surgaku. Bisa diatur?” 

Wanita itu membalas dengan sebuah senyuman tanpa arti. Begitu rapi dan teratur. Jarang sekali ada bentuk yang sesimetris itu di dunia yang berat sebelah ini. Pastinya, kata “tentu” terselip di balik senyuman itu. 

“Ringga.” Sambil menjulurkan tanganku, tanda untuk meresmikan ikatan khas manusia.

“Mulai dari sekarang, duniamu dan duniaku akan melakukan merger. Semoga saja tidak ada anomali yang terjadi diantara dua buah penggabungan imajinasi.” Jelasnya dengan begitu cerdas.

Aku tidak tahu apa dan kenapa, tapi wanita ini begitu jauh ada di depanku. Kenapa ia harus repot-repot membalikkan badannya untuk bergabung dengan pecundang sepertiku. 

“Mungkin kamu berpikir dirimu pecundang yang selalu menyendiri, yang dengan gagahnya bisa menciptakan kenyamanan tanpa perlu orang lain bukan?”

“Kita baru saja bertemu Hera. Tapi kenapa rasanya kamu seolah-olah tahu segalanya tentang apa yang aku pikirkan beserta lapisannya? Pertemuan kita baru berlangsung kurang lebih dari sepuluh menit. Tetapi dari segi bicaramu seakan-akan kita sudah berteman seperti sepuluh tahun lamanya.” Tanyaku dengan terheran-heran. Siapa sebenarnya wanita yang ada di depanku ini. 

Aku merasa aneh di sini. Aku yang sebagai penonton, yang menikmati segala adegan-adegan yang terjadi di panggung, tetapi di tonton juga oleh seorang penonton yang aku tidak tahu asal usulnya. Chaos macam apa ini? 

“Aku tidak tahu apapun tentangmu. Yang aku bicarakan adalah ‘dirimu’ yang berada di duniamu. Aku tahu segalanya tentang duniamu.”

“Sebelum otakku pecah dan menyeruak kemana-mana, tolong hentikan apa yang akan kamu katakan selanjutnya. Aku bertaruh kalimat selanjutnya akan lebih menyeramkan.”

Hera hanya tertawa kecil mendengar respon ku. Mungkin ia sadar bahwa aku sedang ketakutan di sini. 

“Baiklah, sebelum aku pergi, aku ingin mengatakan bahwa aku suka duniamu. Maksudku dunia kita berdua. Aku yakin dunia itu akan menjadi satu kesatuan yang absolut dengan tatanan yang tidak merumitkan kebahagian.”

“Otakku ingin meledak sekarang. Pergilah! Aku akan selalu berada di sini pada jam yang sama.”

“Begitu ya. Tidak bisakah kau mengusirku dengan cara yang lebih cerdas?"

"Get lost!"

“Ya! Sampai jumpa besok Ringga!"

"Ya."

Dengan cepat wanita itu menghilang. Langkahnya begitu ringan, malah dia hampir seperti terbang. 

Pohon Beringin di Taman ini sudah menjadi saksi, bahwa ternyata sepasang kaki bisa menjadi sayap yang unik dengan caranya sendiri. Sayap ternyata tidak melulu tentang ‘terbang’, tetapi kebebasan.

Matahari mulai tenggelam, mungkin lebih baik aku pulang. 
Oh surga kecilku, aku datang!

Komentar