Aku di Hari Kelahiranku


Beberapa waktu lalu adalah hari kelahiranku.

Aku sudah lupa kapan terakhir kali menandai tanggal ini menjadi sebuah tanggal yang ku nanti-nanti kedatangannya tiap tahun. Tanggal di mana orang-orang akan mengganggapnya sebagai hari yang spesial bagi dirinya. Bahkan bagiku yang sekarang, tanggal ini tidaklah berarti apa-apa lagi. Hanya sebuah tanggal yang akan tenggelam sama seperti hari-hari biasa.

Seingatku, ketika hari ini tiba, semua orang, terutama saudara-saudaraku akan membawa bingkisan yang sudah terbungkus kertas kado seraya membawa kue dengan lilin di atasnya, yang sudah sangat siap untuk ditiup. Sesimpel itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku senang.

Tapi itu dulu.

Bagiku yang sekarang, hal seperti ini bukan lagi sebuah alasan untuk menantikan sebuah hari di mana barang yang aku impikan selama setahun akan dengan mudahnya dikabulkan oleh orang tuaku jika hari kelahiranku tiba. Aku yang sekarang harus berusaha mengabulkan sendiri apapun yang aku mau, karena apapun tidak akan terwujud hanya dengan menunggu.

Bagiku yang sekarang, tidak ada lagi arti spesial tentang bertambahnya umur jika itu berarti bahwa umur hidupmu resmi berkurang satu tahun.

Bagiku yang sekarang, berdoa sebelum meniup lilin terdengar menggelikan. Terakhir kali aku melakukannya aku hanya berpura-pura berdoa dengan menutup mataku sambil ku komat-kamitkan bibirku tidak jelas agar lebih meyakinkan kalau diriku sedang berdoa.

Bagiku yang sekarang, tidak ada lagi cerita tentang siapa harus mentraktir siapa.

Bagiku yang sekarang, semua tidak lagi terasa seperti dulu. Entah sejak kapan aku merasa begitu.



Tetapi, bagiku yang sekarang, ucapan selamat pada saat hari kelahiranku terasa sangat spesial dibanding kado-kado itu, jika hanya dikatakan oleh segelintir orang yang benar-benar aku kenal, terutama orang-orang yang aku sayangi. Karena itu adalah bukti bahwa mereka menganggapku ada, atau setidaknya aku sedikit berarti dalam hidup mereka. 

Komentar